Shoshin: Pikiran Para Pemula

Shoshin (初心)

 Secara sederhana, shoshin berarti pikiran pemula. Jadi shoshin merujuk pada gagasan untuk melepas semua konsepsi-konsepsi yang sudah ada di dalam diri kita, dan memiliki sikap keterbukaan untuk mempelajari sesuatu selayaknya seorang murid atau pemula.

Hal ini sering dianggap bertolak belakang dengan pikiran para ahli. Para ahli adalah mereka yang sudah banyak mempelajari sesuatu dan memiliki keahlian serta penguasaan terhadap subjek itu. Karena mereka telah menguasai suatu subjek, terdapat kecenderungan pikiran tertutup, tidak menerima informasi baru dan beranggapan, ‘Saya sudah tahu tentang ini/Saya lebih tahu daripada kamu’. Akibatnya jelas, perkembangan informasi menjadi terhambat, bahkan cenderung menolaknya karena informasi baru itu tidak sesuai dengan apa yang sudah kita pelajari sebelumnya.

Sebaliknya, para pemula tentu adalah mereka yang pikirannya masih belum mengerti dan butuh belajar banyak hal. Kita dianggap selayaknya bayi atau murid yang baru belajar sesuatu. Coba ingat kembali, masa-masa paling berkembang kita justru adalah masa-masa yang mana kita masih belajar.

Pikiran kita kosong dan terbuka. Kita bersedia untuk belajar dan menerima semua informasi baru. Salah satu Zen Master Shunryu Suzuki mengatakan, “Dalam pikiran pemula terdapat banyak kemungkinan, tetapi dalam pikiran ahli hanya sedikit.” Ini juga yang menjelaskan mengapa dengan pikiran pemula kita dapat melakukan invensi (penemuan) dan inovasi.

Di sinilah letak keunikan konsep shoshin. Shoshin mengajak kita untuk memiliki pikiran pemula, terlepas dari status kita bahwa mungkin saat ini kita dianggap ahli. Dengan memiliki pikiran pemula, kita menjadi lebih terbuka dan mau belajar lagi dan lagi, sehingga invensi dan inovasi dapat tercipta. Bahkan, CEO Amazon dan sekaligus orang terkaya di dunia (Jeff Bezos) mengatakan bahwa kunci untuk sukses adalah dengan pikiran pemula untuk memecahkan sebuah masalah.

Praktik

Sama seperti praktik Buddhis lainnya, shoshin dapat dilatih dan dikembangkan dengan beberapa cara. Pertama, tetaplah bersikap rendah hati. Semua harus dimulai dari pikiran, bahwa kita tidak tahu banyak dan perlu belajar. Apabila kita tinggi hati, tentu sulit bagi kita untuk belajar dari banyak orang. Dengan kerendahan hati, kita akan bersedia untuk menyapa, berbincang, berdiskusi, dan belajar dari semua orang.

Kedua, mintalah nasihat. Meskipun kita mungkin sudah banyak mengetahui, sudah berumur dan mencicipi pahit manisnya dunia, tetap saja ada orang lain yang mungkin lebih mengetahui sesuatu yang tidak kita tahu. Dengan berdiskusi, meminta nasihat, kita akan belajar banyak dari orang lain. Ketiga, bacalah buku. Buku adalah jendela pengetahuan.

Mungkin tak terhitung sudah berapa banyak buku yang kita baca sedari mulai sekolah. Carilah buku-buku menarik dan bagus/bermanfaat. Bacalah mulai dari 1 atau 2 buku. Miliki target harian untuk membacanya. Kalau bisa, diskusikan isi buku itu dengan keluarga, teman atau orang lain yang hobinya sama. Keempat, diamlah sejenak. Biarkan diri dan pikiran kita punya waktu untuk beristirahat sejenak.

Bukan tidur, tapi memang istirahat. Kelima, diamlah sejenak part 2. Nah, saat berbincang dengan orang, cobalah untuk menjadi pendengar yang baik. Terkadang kita punya kecenderungan untuk menarik perhatian. Caranya adalah dengan berbicara dan terus berbicara. Bila kita terus berbicara, kapan kita akan mendengar dan menyerap pelajaran? Ingat, murid belajar dengan mendengarkan guru. Jadi, ketahuilah kapan waktu untuk berbicara dan kapan waktu untuk mendengar.

Keenam, lepaskanlah keinginan untuk selalu benar. Meskipun kita tidak setuju dengan pendapat seseorang ketika berdiskusi, kita tidak perlu mengoreksinya. Toh, mungkin saja pendapat dia yang benar meskipun terdengar konyol. Mungkin saja idenya akan menciptakan hal yang menakjubkan. Jadi jangan terburu-buru mengoreksi orang lain. Terakhir, seperti yang dikatakan Steve Jobs – stay foolish. Tetaplah bodoh tapi sadari bahwa oleh karena itu kita harus belajar!

 


 

Comments

Popular Posts